Sabtu, 29 Januari 2011

Time Paradox Style : Culture Trip to Future

Sebuah cerita unik dari ane yang melenggang kencang meninggalkan aktifitas sebagai mahasiswa sok sibuk di Solo. Akhirnya saya meluncur ke kampung halaman yang penuh dengan keramaian. Di sebuah sore yang awannya seolah masuk angin karna gelap. Saya pun tetap melanjutkan niatku untuk pergi menuju terminal Kartasura baru. Dari tempat itu bertemulah sebuah benda raksasa yang membawaku ke dalam time paradox pemikiran. Ya, alat itu adalah sebuah kemajuan teknologi. Namanya bis -_-.


Bermodalkan Rp110.000,- saya bisa menikmati bus V.I.P (very ihiir person) dan duduk bersama lelaki sekitar 35 tahun menembus mesin waktu selama sekitar 13 jam perjalan yang  dipotong waktu istirahat sekitar 1 jam. Pengalaman saya kali ini bercerita tentang kecurigaan terhadap orang di samping, belakang, dan serong belakang kanan saya. Melihat gerak- gerik yang menurut persepsi saya aneh, saya jadi tidak tenang melenggang bebaskan leher menuju khatulistiwa mimpi (maksudnya tidur selama di bus berjam- jam). Bukan mahasiswa psikologi namanya kalau tidak punya ide memahami manusia. Pertama, saya memasang persepsi kalau pencuri biasanya tidak kerja sendiri maka saya rasa mereka bekerja bersama- sama. 2. Saya memposisikan barang- barang berharga se secret mungkin dan se secure mungkin. 3. Saya melihat siapa orang sebangku dengan orang yang saya curigai dan melihat hubungan kedekatan mereka. Melihat orang di sampingnya ini maka saya dapat memastikan bahwa orang itu pencuri atau bukan. (kalau orang disampingnya baik dan orang itu akrab maka bisa dikatakan orang itu baik). 4. Saya ajak ngobrol (walau cuman sepatah dua patah.) . Tetereng.. Al hasil persepsi saya keliru walau saya tetap tidak tenang. Dasar jiwa yang aneh.



Bukan masalah pencurian sebenarnya topik pembahasan yang ingin saya bahas. Akan tetapi sebuah prespektif perjalanan dari dua tempat yang saya tinggalkan dan saya datangi. Pertama ialah culture, Solo, dialah kota yang dipimpin oleh walikota bernama JokoWi. Melalui kepemimpinan beliau kota tersebut menjadi sebuah referensi semangat kebudayaan Indonesia. Sebuah kota yang tertata rapih yang terwarnai dengan keseimbangan antara bangunan, jalan raya, pepohonan,dan sawah. Kota yang mengindahkan 2 kerajaan yaitu Kasunanan dan Mangkunegaran. Di mana setiap tahunnya terdapat bermacam- macam pesta kebudayaan berskala nasional maupun internasional seperti Solo Batic Carnival, Solo Internasional Performance Art, Sekaten dan lain- lain. Tak lain kota yang masih betah stand by sekalian malam menjelang pagi dengan warung makan HEK nya yang murah meriah.  Di tempat inilah seluruh ilmu pengetahuan psikologi dan sebuah persahabatan mahasiswa saya dapatkan.

Ketika saya menjawab pertanyaan seorang ibu- ibu yang ramah dengan menawarkan secarik karcis, saya pun tersadar bahwa saya akan menuju sebuah kota yang kedua yaitu Future, dialah Jakarta, sebuah kota pusat seluruh kantor di Negara Republik Indonesia. Kota yang penuh dengan dinamika kehidupan. Gedung- gedung menjulang, bertenggernya pusat pemerintahan, kedutaan negara- negara, sampai Universitas Indonesia (sebuah kampus yang ingin saya dapatkan tetapi gagal, hehe) dengan yang katanya perpustakaan terbesar seluruh dunia.Tak luput di jalan raya yang berbagi dengan jalur bus transjakarta, ada suku Jawa, Sunda, Batak, bahkan sampai China, India dan Unidentified Nation Subject yang berlalu lalang menggunakan kendaraan kesayangan mereka versi terbaru seluruh dunia. So busy and So Crowded. Di sinilah kampung saya berada. Di sebuah kota pinggiran Jakarta yang sebetulnya bukan pas banget di Jakarta yaitu Bekasi.

Sebuah pemikiran paradox saya terjalin di fikiran saya searah alur bis yang melintasi pantai utara pulau Jawa. Antara kekhawatiran kepada sang persepsi pencuri dan kegilaan pemikiran yang selalu terfikir membuat saya benar- benar sedikit demi sedikit terjun berputar terjebak twist time paradox pemikiran. Ketika perlahan saya terjebak ke dalam 2 kunci pemikiran yaitu "Culture" dan "Future". Memang benar selintas saya meninggalkan "Solo :The Spirit Of Java" pelakon Culture menuju "D.K.I Jakarta : Capital of Indonesian" pelakon Future. Tetapi pemikiran itu menjadi berbeda ketika saya menuntun ilmu dari Jakarta ke Solo. Seolah- olah time paradox mulai menertawakan saya karena yang seharusnya menjadi Culture bukanlah Solo tetapi Jakarta. Yap, ternyata saya berbudaya, berperilaku dan berkeluarga dari kecil di Jakarta maka dari itu justru Jakarta adalah Culture saya. Sedangkan Solo adalah sebuah Future karena saya menuntun ilmu dan menggali pengetahuan yang lebih besar di Solo. Sebuah twice yang menyimpulkan saya bahwa saya Future trip to Culture. Lha wong ke kampung halaman.

Bis semakin melaju, malam semakin berkuasa, dan satu per satu toko- toko mematikan lampu dagangannya. Saat itu pula twice kembali beraksi. Time paradox datang lagi. Karena saat ini saya berfikir mengenai prospek. Prospek adalah sebuah masa depan yang bagi saya seharusnya realistik pragmatis.note: Tak banyak yang ingin saya artikan dari kata- kata berat yang terlontar di postingan blog ini karena saya bukanlah seorang novelis idaman masyarakat dan wanita (baca:ukhti). Hanya saja semoga pembaca memahami dan mencari artinya perlahan demi perlahan n_n. Kembali pada prospek. Ketika itu saya berfikir, tentunya saya kuliah menuntun ilmu di Solo kemungkinan besar kembalinya di Jakarta. Sebuah prospek dan sudut pandang yang masyarakat akan mengakui bahwa kota metropolitan Jakarta adalah ladang pekerjaan yang jauh lebih menjanjikan. Prospek realistis pragmatis ini disokong oleh banyaknya saya temui orang- orang di Jakarta yang memiliki ilmu dan kerjaan yang bonefit, contohnya keluarga dan perusahaan, teman- teman SMA yang selalu memikirkan masa depan, hingga di beberapa orang yang saya baru kenal namun sudah memberi segala investasi kehidupan. Penjabaran ini membuat kembali twice ketika saya yang terbentuk di komunitas kerangka berfikir Solo sehingga bekerja dengan menyebarkan kebijaksanaan dan keramahan Solo kepada pekerjaan di Jakarta. Membuat saya kembali berkata Culture trip to Future. Ya..Culture adalah Solo sebagai tempat saya membentuk kepribadian dan kebudayaan saya sebagai manusia perkembangan remaja yang mau belajar(kuliah). Future adalah Jakarta sebagai tempat mencari kerja dan kehidupan selanjutnya.

Sejumlah orang yang saya curigai. Samping saya, belakang saya, dan serong kanan belakang saya sudah tidur terlelap. Saya pun ikut mengantuk. Seolah saya ingin menghentikan pemikiran yang gak penting ini, alih- alih kelopak mata sudah semakin membiru, twice kembali muncul. Ya saat terkantuk ini saya berfikir tentang intervensi. Mengingat salah seorang dari keluarga besar saya berkata bahwa untuk apa tinggal di kota Jakarta metropolitan yang macet dan sering banjir ini. Lihatlah Solo! di sana hidupmu lebih sejahtera. Maka, saya berfikir sudah seharusnya saya mempersiapkan diri menjadi manusia Solo. Apalagi ketika intervensi yang menggoda muncul berisikan bahwa wanita- wanita Solo cantik, pandai, keluarga baik- baik dan lebih beriman. Seolah- olah nasehat Nabi terngiang di telinga saya dan saya mau. Menyimpulkan mencari wanita di Solo terlebih di kampus saya adalah pilihan yang sempurna. Salah satunya intervensi Faruq (teman kampus) yang menyarankan salah satu fakultas adalah ladang 4 pilar wanita kriteria Nabi Muhammad SAW. Sedangkan Jakarta? intervensi terjalin hanya karena saya orang Jakarta (Bekasi deng..) seharusnya lebih pandai memilih dan dipilih dari sebuah pilihan (sebuah kata- kata aneh yang gak mutu -_-'). Semua intervensi yang saya ingat- ingat itu menunjukan bahwa Solo is Future dan Jakarta is Culture.

Sekarang mata terpejam, kata film inception ketika alam bawah sadar kamu aktif maka otak akan aktif lebih cepat dibandingkan ketika kamu sadar. Maka saatnya otak saya bekerja lebih cepat, kini twice menunjukan kesimpulan time paradox. Pertama Solo, dengan Culture nya yang baik tertata menunjukan bahwa kota tersebut menjadi kota Future yang bisa diinvestasikan. Sedangkan Jakarta, dengan Futurenya gedung- gedung bertingkat, kesibukan penduduk dan ke'gaol'an masyarakatnya ternyata adalah sebuah Culture karena saya dibesarkan dari kampung halaman yang seperti futuristik ini. Jakarta akan menjadi culture tradisionil yang siap ditinggalkan apabila orang- orangnya sudah membuka mata kalau di kota Indonesia belahan lainnya ternyata jauh lebih memiliki prospek yang menjanjikan (damai, bersih, sejahtera). Apapun modernnya manusia kalau mereka hidup ditengah stressor apa mungkin dia bahagia. Di sisi lain juga Jakarta bila dilihat dari realistik pragmatis di hidup saya, mereka menjanjikan tawaran prospek yang baik pula. Jadi time paradox ini saya simpulkan Culture is Future dan Future is Culture tinggal saya memilih sebuah pilihan tersebut.

Tak terasa esok pagi saya sudah di Jakarta, saya pun naik angkot dengan mobil khas warna merahnya.. Saya duduk dan melihat supir angkot yang berjenggot dan pendiam itu. Sesampainya di depan komplek, saya memanggil abang becak dan saya menaiki becak dengan dibelai- belai angin yang sejuk. Di depan rumah, saya membuka gangang pintu berwarna emas kekuningan. Sayapun disambut oleh ibu saya. Tak lama kemudian ibu saya berkata,"Leeee'.. ingat.., lahirmu di Yarsis, Rumah sakit Islam di kota Solo." and last of the strory your time paradox will be begin again.

admin gugusasa

NB :Arti Time Paradox (Click di Sini)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Template by : kendhin x-template.blogspot.com